Terkait Penundaan DAU, Sri Mulyani Kirim Sepucuk Surat Cinta

  • Bagikan

Mendapat surat cinta biasanya menyenangkan. Tapi ternyata tidak semua. Karena sebagian surat cinta itu isinya bisa saja meresahkan. Bahkan bikin bingung bagaimana menjawabnya.

Saya baru saja dapat. Sepucuk surat cinta dari yang terkasih Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani. Saya sebut surat cinta karena tentunya surat itu ditujukan Ibu Menteri untuk para kepala daerah yang beliau sayangi. Saya sebut surat cinta karena pasti tujuannya baik. Setidaknya demikian lah niatan Ibu Menteri.

Sayangnya surat cinta Ibu Menteri kali ini meresahkan. Karena isinya tentang penundaan penyaluran sebagian dana alokasi umum tahun anggaran 2016. Dasarnya penghematan anggaran.

Meresahkan karena surat cinta ini meluncur di tengah tahun anggaran berjalan. Jelas kami tidak siap.

Bagaimana memangkas anggaran dari program pembangunan yang sedang berjalan? Tender-tender proyek juga sudah berjalan. Bahkan sejak Desember tahun lalu karena kami ingin melaksanakan perintah Presiden untuk memaksimalkan serapan anggaran.

Ada 169 daerah yang ditunda DAU-nya. Penundaan DAU untuk Provinsi Jateng sebesar Rp336,7 miliar.

Kami harus putar otak. Saya kumpulkan seluruh pejabat pelayan masyarakat. Kami utak-atik anggaran. Kira-kira pos mana yang bisa dipangkas dan disesuaikan dengan penundaan DAU ini.

Surat cinta ini juga berimbas pada bupati dan walikota. Sebab penundaan DAU juga menyasar 16 kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Yakni Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, Kendal, Klaten, Pati, Pemalang, Purbalingga, Purworejo, Rembang, Sukoharjo, Kabupaten Tegal, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kota Salatiga, Kota Semarang.

Seturut itu, kepala desa juga ikut resah. Karena sesuai undang-undang, pemerintah kabupaten kota harus mengalokasikan DAU untuk anggaran desa minimal 10 persen. Jika DAU kabupaten kota ditunda, maka dana desa bisa jadi juga tertunda.

Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, saya mendapat banyak pertanyaan dari teman-teman bupati, walikota, dan kepala desa. Juga ratusan SMS para PNS yang menanyakan isu penundaan DAU yang berimbas pada penundaan gajinya.

Kegemparan ini memang beralasan. Sebab sebagian DAU memang digunakan untuk membayar gaji pegawai. Kalau DAU ditunda, bagaimana pemerintah daerah membayar gaji PNS. Tidak mungkin juga memotong gaji pegawai karena nominalnya sudah tetap dan tidak bisa dikurangi.

Sedangkan jika mengambil sebagian anggaran program pembangunan untuk gaji pegawai juga tidak mungkin. Apalagi, di awal tahun ini, seluruh daerah sudah melaksanakan instruksi Presiden untuk memangkas anggaran hingga 10 persen. Pemprov Jateng malah memangkas 25 persen.

Catatan ini menjadi pertanyaan banyak pihak. Mengapa keputusan ini diambil di tengah tahun anggaran berjalan. Benarkah Indonesia betul-betul sedang mengalami kesulitan keuangan atau likuiditas sehingga harus diambil tindakan yang super mengejutkan ini.

Disinsentif

Penundaan DAU ini membuat saya teringat pada kejadian beberapa waktu lalu. Saat itu saya mendapatkan penghargaan provinsi terbaik sebagai pengendali inflasi daerah. Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Jawa Tengah berhasil mengontrol inflasi sehingga harga komoditi penting terjaga.

Presiden hadir dan memberi sambutan pada serah terima penghargaan itu. Dan ada satu bait pidatonya yang mengejutkan saya. Presiden menyebutkan bahwa ada 10 provinsi yang mengendapkan uangnya di bank.

Saya terkejut setengah mati. Karena pengelolaan anggaran provinsi saya pelototi betul dengan Government Resources Management System. Saya tidak pernah melihat adanya pengendapan anggaran atau kecurangan pengelolaan keuangan itu.

Saat itu juga, saya minta Pak Sekda yang duduk di belakang saya untuk cek ke Biro Keuangan. Benarkah Jateng menyimpan duit Rp2,43 triliun di bank.

Hanya dalam waktu lima menit sudah ada jawaban. Ternyata, uang yang tersimpan di kas umum hanya Rp1,8 triliun. Sebagian besar di Bank Jateng. Sebagian kecil lainnya di beberapa bank.

Dari rincian yang saya peroleh, ternyata uang itu adalah uang keluar masuk tiap hari. Baik masuk karena pembayaran pajak dan pendapatan atau keluar untuk biaya rutin, termasuk biaya proyek-proyek. Ada beberapa proyek juga yang saat itu belum ditagih.

Saya berpikir jangan-jangan uang di kas umum inilah yang dimaksud oleh presiden sebagai duit ngendon.

Pada saat itu, ada semacam ancaman dari Jakarta bahwa jika uang terus di-endon-kan begini, maka pemerintah daerah akan mendapatkan disinsentif berupa pemberian surat utang saja.

Nah, pada saat saya menerima surat cinta dari Ibu Menteri Keuangan, saya langsung teringat dengan pidato presiden yang mungkin datanya juga dari Kementerian Keuangan itu. Jangan-jangan penundaan DAU yang diterima Jateng adalah bentuk disinsentif itu.

Namun saya tidak mau gegabah. Saya SMS Bu Sri Mulyani sebagai Menkeu baru. Di dalam SMS saya sampaikan bahwa saya mohon petunjuk sekaligus klarifikasi terkait duit yang ngendon di Jateng.

Jika memang dari “alat” yang dimiliki Kemenkeu menunjukkan sebuah kesengajaan, maka tunjukkan pejabat mana yang melakukan itu karena akan saya copot besok pagi.

Balasan SMS Menkeu ternyata cukup arif dan bijaksana. Beliau menyampaikan bahwa “sebaiknya kita konfirmasi dulu Pak Gub, dan jangan tergesa-gesa mengambil sikap itu.”

Jawaban ini sungguh melegakan saya karena ada kemungkinan catatan di kemenkeu itu diterjemahkan berbeda oleh pejabat pelaksana yang ada di sana.

Komunikasikan dengan gubernur

Tapi soal DAU ini tetap masih mengganjal. Saya lalu usulkan pada Bu Menkeu bahwa baik masalah duit ngendon atau keputusan penundaan DAU baiknya dibicarakan dahulu dengan para gubernur.

Sebab gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Hubungan ini perlu diterjemahkan dalam bentuk komunikasi politik yang konkret antara pusat dan daerah.

Dengan memanggil gubernur, pemerintah pusat akan mendapatkan masukan, pandangan langsung dan data dari lapangan. Karena bagaimanapun persoalan data di Negara ini harus kita akui masih banyak carut marut.

Gubernur juga bisa diklarifikasi terkait data dan persoalan-persoalan yang berkembang. Jika gubernur sebagai representasi pemerintah pusat di daerah tidak bisa menjelaskan, maka gubernur layak di-pisuh-pisuhi (dimaki-maki -red).

Dengan demikian, keputusan yang diambil pemerintah pusat sudah memperhitungkan akibat dan pasti dilandasi data yang kuat sebagai bangunan argumentasi yang kukuh untuk mendukung kebijakan.

Mudah-mudahan untuk selanjutnya pola ini yang akan dipakai sehingga tidak memunculkan kegaduhan baru

Oleh: Ganjar Pranowo

Sumber: Okezone

  • Bagikan