Gesek-gesek Politik

  • Bagikan

Pemilihan kepala daerah tahun 2017 menjadi “area” yang paling heboh. Penyebabnya? Ahok. Ya, di dalam kerimbunan agenda pemilihan tahun depan itu, ada jadual pemilihan Gubernur DKI. Kenapa DKI? Ya, ini adalah titik sekaligus pusat remote politik Indonesia. Pemilihan gubernur Jakarta, hampir setara hebohnya dengan pemilihan Presiden di republik ini. Sejak setahun lalu, gesekan politik, saling cuit, saling siku, malah saling tendang dan tunjang secara politik telah terasa aromanya. Demikian pula ihwalnya dengan pemilihan walikota Pekanbaru. Walau skalanya tidak seluas pemilihan Gubernur DKI, namun skala Riau ikut gemeretap dalam pemilihan walikota Pekanbaru pada tahun depan. Sebabnya, tak lain karena Pekanbaru adalah pusat aktivitas politik dan ekonomi di Riau. Dua medan (politik dan ekonomi) amat bergairah di kota ini. Sehingga dia menjadi rebutan dalam ihwal kepemimpinan. Jika teruji memimpin Pekanbaru, akan mudah naik klas untuk memimpin Riau. Sebab, hampir 20 persen penduduk Riau terkonsentrasi di kota ini.

Dengan penguasaan medan politik dan ekonomi, maka jalan berikutnya bakal mudah dalam menapak identitas kebudayaan bagi kota dan warganya. Sejak 6 bulan silam, geriak politik dan gesekan antar figur, jahit menjahit pasangan, lobi-lobi kekeluargaan dimulai dengan helat kecil, ziarah kematian, jemputan kenduri pernikahan sampai acara khitanan. Semua peristiwa ini menjadi ajang kontestasi untuk saling mendekatkan diri kepada rakyat, kepada masing-masing calon, sehingga terasa suasana serba karib dan akrab terbangun dalam ruang-ruang sosial yang selama ini terasa mati suri; penuh dengan sapaan-sapaan serba formal.

Khusus fenomena politik Riau, sama sekali belum bisa melepaskan juluran nama besar keluarga yang memiliki sejarah politik dan kepemimpinan di negeri ini. Rata-rata, nama yang muncul masuk dalam medan pertandingan dan pertarungan itu, tak jauh-jauh dari selasar keluarga politik yang pernah berkuasa pada era-era sebelum ini. Ada yang berstatus anak, ada berstatus isteri mantan penguasa, ada keponakan, ada sepupu, bahkan ada juga pemimpin-pemimpin yang gagal dalam pertarungan periode sebelumnya, ikut pula meramaikan bursa pertandingan ini meski mungkin baru dan setakat menguji “dalamnya air” (test the water).  Walhasil, demokrasi memberi ruang, panggung sekaligus podium kepada setiap warganya untuk menampilkan diri ke tengah publik. Ruang dan kesempatan ini, tak disia-siakan pula oleh figur-figur pendatang baru dalam dunia politik. Kebetulan mereka menjadi pengurus partai, walau masih muda secara kalender (usia), namun tetap memberanikan diri tampil di ruang publik, paling tidak (sekali lagi) untuk menguji “dalamnya air”.

Setiap ruang sosial dalam demokrasi adalah labor terbaik yang secara cermat dan jitu harus dimanfaatkan setiap orang. Kekuasaan itu bak candu. Kekuasaan itu menempel pada struktur negara, yang memiliki “kekuatan memaksa”. Campuran dari impian itu, maka setiap orang yang bercita-cita menjadi pemimpin, adalah mereka yang merindukan untuk berbuat bajik, tapi sebelum kebajikan itu bisa diserakkan bagi kemaslahatan orang banyak, maka seseorang harus mampu menakluk ruang-ruang politik dan medan publik. Dengan kekuasaan yang di dalam genggaman lah, seseorang bisa berbuat bajik dan bijak demi kemaslahatan bersama. Maka, sejak berbulan-bulan lalu, kita telah merasakan gesekan politik yang mulai mewarnai kehidupan kota ini. Tak hanya di Jakarta sana.

  • Bagikan