Dilema Petani Sawit di Riau, 56 Persen Perkebunan Mereka Diklaim Masuk Kawasan Hutan

  • Bagikan

RIAUDETIL.COM,PEKANBARU – Sebagai salah satu syarat mendapatkan sertifikat Indonesia Sustaianable Palm Oil (ISPO) pada perkebunan rakyat ada 4 kriteria, salah satunya adalah legalitas kebun petani. Namun masalahnya, sebagian besar petani kelapa sawit di Provinsi Riau tidak sedikit lahan perkebunannya yang belakangan ini diklaim masuk kawasan hutan.

“Jadi sebagian besar petani di Provinsi Riau hanya memiliki Surat keterangan tanah (SKT) dari Kepala Desa atau Surat Camat. Sehingga dengan hanya memiliki SKT, maka mereka mengalami kesulitan atau tidak bisa untuk mengurus surat tanahnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). Hal itu karena areal kebun mereka menurut peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kehutanan, lahan tersebut katanya masuk areal kawasan hutan dan sesungguhnya petani sama sekali tidak memahami dan mengetahui batas- kawasan hutan,” ungkap Ketua Dewan Perwakilan Wilayan (DPW) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau, Gulat Medali Emas Manurung.

Hal inilah yang menjadi dilema besar untuk para petani kelapa sawit, khususnya petani rakyat di Provinsi Riau. Padahal, dari hasil penelitian Tim IT Apkasindo Riau, total luas perkebunan kelapa sawit di Riau mencapai 4,44 juta hektar. Dari total luas tersebut, sebesar 2,42 juta hektar adalah milik petani kelapa sawit rakyat, dan seluas 1,3 juta hektar atau 56 persennya diklaim berada dalam kawasan hutan.

Ini merupakan jumlah yang sangat besar sekali, dan sangat serius, mengingat Provinsi Riau merupakan provinsi dengan luas perkebunan sawit terbesar di Indonesia, dan juga merupakan luas perkebunan sawit rakyat yang terbesar di Indonesia.

“Padahal 47 persen roda perekonomian di Provinsi Riau digerakkan oleh sektor agribisnis perkebunan sawit. Artinya permasalahan ini tidak boleh dibiarkan karena sangat berdampak sistemik kepada sektor ekonomi lainnya,” risau Gulat.

Terkait masalah tersebut, Gulat mengakui, perkebunan rakyat ini akan sulit untuk mendapatkan sertifikat ISPO. Sebab salah satu syarat untuk mendapatkan sertifikat ISPO adalah legalitas lahan. Akibatnya lagi, jika tidak memiliki sertifikat ISPO maka hasil panennya tidak dapat dibeli oleh pabrik kelapa sawit (PKS) dan jika juga dibeli oleh PKS akan berurusan dengan aparat hukum. Ini sangat mengerikan.

“Melihat hal ini maka perlu upaya yang serius bagi para pemangku kebijakan khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kementerian Pertanian, dan Pemerintah Daerah (Pemda),” tegas Gulat.

Tidak hanya itu. Gulat mengatakan, jika perkebunan rakyat tidak segera disertifikasi ISPO, maka Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGO akan terus mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit tidak sustainable dan itu akan memukul petani swadaya mengingat luas perkebunan rakyat cukup luas.

Sedangkan ISPO merupakan salah satu usaha pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kredibilitas dan keberterimaan industri kelapa sawit Indonesia di mata internasional. Selain itu juga sebagai pembuktian bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah sustainable.

“Padahal harus diakui para petani dalam kawasan hutan tersebut telah turut serta menyumbangkan devisa bagi negara ini melalui tandan buah segar (TBS) yang PKS dan menghasilkan crude palm oil (CPO) beserta turunannya yang kemudian diekspor. Alhasil masyarakat swadaya atau dari perkebunan rakyat mereka bisa keluar dari kemiskinan dan memiliki kehidupan yang layak,” beber Gulat.

Disisi lain, dengan diklaim bahwa perkebunan rakyat masuk kawasan hutan bukan hanya sulit mendapatkan sertifikat ISPO, tapi juga masyarakat swadaya atau perkebunan rakyat akan sulit mendapatkan akses perbankan, sehingga tidak bisa menerima bantuan untuk melakukan replanting. Padahal saat ini kondisi tanaman perkebunan rakyat, rata-rata sudah diatas 25 tahun atau sudah waktunya direplanting.

“Melihat hal ini maka sempurnalah penderitaan petani kelapa sawit yang cenderung dianaktirikan oleh negara,” pungkas Gulat.

Untuk catatan, menurut data KLHK, perkebunan kelapa sawit milik rakyat yang masuk kawasan hutan saat ini seluas 1,7 juta hektar, dan ini harus segera diselesaikan karena menyangkut masyarakat. Sehingga jika seorang petani memiliki luas lahan 2 hektar, maka ada 850 ribu petani yang diklaim lahannya masuk kawasan hutan. Dan jika seorang petani memiliki satu orang istri dengan dua orang anak, maka ada 3,4 juta keluarga petani yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan kelapa sawit yang saat ini kabarnya dikatakan masuk kawasan hutan. (KRN)

  • Bagikan