Geger Keraton Agung Sejagat dan Klaim Penerus Kerajaan Majapahit

  • Bagikan

RIAUDETIL.COM – Keberadaan Keraton Agung Sejagat di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mulai dikenal luas setelah diadakannya seremonial wilujengan dan kirab budaya.

Penasihat Keraton Agung Sejagat, Resi Joyodiningrat mengklaim kerajaan yang dipimpin Totok Santosa Hadiningrat dan sang istri Fanny Aminadia atau Dyah Gitarja muncul karena sebuah perjanjian 500 tahun lalu telah berakhir.

Perjanjian itu mulai terhitung sejak Kemaharajaan Nusantara mulai menghilang. Lebih tepatnya pada imperium Majapahit pada 1518 sampai 2018.

Menurutnya, perjanjian 500 tahun tersebut dilakukan oleh Dyah Ranawijaya sebagai penguasa Majapahit, dengan Portugis sebagai wakil orang barat atau bekas koloni Kekaisaran Romawi di Malaka tahun 1518.

Dengan berakhirnya perjanjian tersebut, maka berakhir pula dominasi kekuasaan barat mengontrol dunia yang didominasi Amerika Serikat setelah Perang Dunia II.

“Kekuasaan tertinggi pun harus dikembalikan ke pemiliknya, yaitu Keraton Agung Sejagat sebagai penerus dari Medang Majapahit, yang merupakan Dinasti Sanjaya dan Syailendra.” kata Resi Joyodiningrat baru-baru ini.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Dyah Ranawijaya atau bernama lengkap Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya merupakan bupati bekas Kerajaan Majapahit yang memerintah sekitar tahun 1488-1527.

Saat itu Dyah Ranawijaya menjadi bawahan Kesultanan Demak. Dia merupakan menantu Kertabhumi dan ipar dari Raden Fatah.

Dyah Ranawijaya dilantik oleh Raden Fatah menjadi penguasa Majapahit dari tahun 1488 dan meninggal tahun 1527. Sekitar tahun 1517-1518, Dyah Ranawijaya menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Langkah Dyah tersebut dibalas oleh Kesultanan Demak dengan kembali menyerang Majapahit.

Keraton Agung Sejagat dibangun dalam sebuah kompleks di Desa Pogung Jurutengah. Di dalamnya terdapat bangunan semacam pendopo setengah jadi. Di sebelah utara pendopo, ada sendang atau kolam yang keberadaannya disakralkan.

Selain itu ada juga batu prasasti bertuliskan huruf Jawa, di bagian kiri prasasti terdapat tanda dua telapak kaki, dan di bagian kanan ada semacam simbol. Prasasti ini disebut dengan Prasasti I Bumi Mataram.

Sementara itu, sosok Totok juga bukan kali ini saja menghebohkan publik. Sebelumnya di tahun 2016, Totok berani menjanjikan untuk memberikan urang ratusan dolar setiap bulannya. Dia mengaku uang itu akan diberikan melalui sebuah organisasi bernama Jogjakarta Development Committee (JOGJA-DEC).

Untuk menarik perhatian, pimpinan Keraton Agung Sejagat ini menyatakan ada dana kemanusiaan dalam bentuk USD dengan nilai yang tidak terhingga. Dia juga mengklaim uang tersebut masih tersimpan di Esa Monetary Fund (EMF), salah satu bank negara Swiss. Menariknya, uang itu nantinya akan diberikan pada masyarakat masing-masing USD50 juta hingga USD200 juta sebulan dan ditambah USD100 ribu.

Namun untuk mendapatkan iming-iming tersebut tidaklah gratis. Totok mewajibkan bagi siapa pun yang berminat untuk mendaftar keanggotaan JOGJA-DEC. Selain itu, anggotanya juga disuruh untuk menyetor sejumlah nominal uang setiap bulan yang bisa dikriim lewat ATM atau koperasi.

Karena keberadaan Keraton Agung Sejagat dianggap meresahkan, polisi akhirnya menangkap Totok dan Fanny.

“Dua orang yang mengaku raja dan permaisuri sudah kami lakukan upaya paksa penangkapan. Penangkapan tentunya setelah melewati pemeriksaan 10 saksi,” kata Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Iskandar Fitriana Sutisna, Selasa (14/1).

Dia menyebut penangkapan berdasar pemeriksaan saksi, bahwa yang bersangkutan telah diduga melanggar pasal 14 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.

“Barang siapa menyiarkan berita atau pemberitaan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat di hukum maksimal 10 tahun dan atau pasal 378 KUHP tentang penipuan,” jelasnya.

Dari hasil penggeledahan lokasi tempat kejadian oleh petugas menemukan sejumlah barang bukti dan alat bukti. “Kami sita barang bukti KTP pelaku serta dokumen palsu kartu. Dokumen palsu itu nantinya untuk mencetak kartu untuk perekrutan anggota baru,” jelasnya.

Sedangkan Pemerintah Kabupaten Purworejo akan menghentikan kegiatan Keraton Agung Sejagat lantaran dinilai meresahkan masyarakat.

“Pemkab Purworejo sudah melaksanakan rapat terbatas yang dihadiri jajaran Forkopimda dan segera akan mengambil langkah, mulai besuk pagi (Rabu) untuk menghentikan kegiatan di KAS,” ujar Kabag Humas dan Protokol Pemkab Purworejo Rita Purnama di Purworejo, Selasa (14/1).

Berdasarkan laporan Kepala Desa Pogung Jurutengah melalui Camat Bayan, kegiatan keraton meresahkan warga sekitarnya dan terindikasi sebagai penipuan. Sebab, dari sejarah yang disampaikan banyak tidak sesuai.

“Banyak yang tidak sesuai dengan sejarah yang ada, karena dalam rapat terbatas tadi juga mengundang sejarawan di Purworejo,” kata Rita.

Tak hanya itu, bangunan di keraton itu tidak berizin. Rencananya akan diberi garis polisi karena tidak ada izin mendirikan bangunan.

“Namun yang jelas hal ini menyalahi aturan yang ada di Pemkab Purworejo,” katanya.

Jika aktivitas itu adalah bagian dari organisasi kemasyarakatan, seharusnya tetap mengantongi izin.

“Pada saat itu sudah mengajukan izin ke Polres tetapi sepertinya tidak diizinkan. Ngantongi izinnya dari dunia atau PBB dan itu yang membawa sinuwunnya (pimpinannya) dan belum ditunjukkan sampai saat ini,” katanya.

Menyikapi kemunculan keraton baru tersebut, sosiolog Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis menilai banyaknya pengikut Totok lantaran mereka selama ini mencari alternatif harapan di tengah situasi kehidupan.

“Ini bukan proses tiba-tiba. Ini pasti proses yang panjang, saya yakin bisa bulanan bahkan bisa tahunan. Dia bisa mulai dari keluarga, dari istri, anak, kemudian teman anaknya, tetangganya,” kata Rissalwan. Dikutip dari Antara.

Selain itu, proses politik dan ekonomi mungkin berpengaruh terhadap masyarakat yang berada di akar rumput dan membuat mereka mencari harapan di tempat lain.

“Di bawah ini mereka mencari alternatif-alternatif lain dan itu suatu hal yang wajar. Jadi itu bercampur baur dengan orang yang mungkin punya keyakinan bahwa dia punya akses supranatural tertentu,” katanya.

Selain itu, kata dia, ada kemungkinan pendiri Keraton Agung Sejagat juga ikut mencampur konteks historis dan budaya sebagai bungkus untuk menarik pengikut.

Hal itu diikuti dengan konteks supranatural saat kelompok itu mengaku sebagai penerus dinasti Majapahit dan menjadi pemilik kekuasaan tertinggi di dunia.

Pola pembentukannya sendiri, kata Rissalwan, serupa dengan pendiri aliran kepercayaan baru yang sempat menghebohkan Indonesia seperti kelompok Lia Eden dan Gafatar, yang bahkan sempat memiliki ribuan pengikut.

Yang membedakan kelompok Totok dengan yang lain, kata dia, adalah tidak mengklaim unsur agama tapi menggunakan metode formal seperti pembentukan kerajaan, keraton atau negara.(Merdeka.com)

  • Bagikan