Malioboro, Jantung Hati Kota Yogya yang Kini Sepi

  • Bagikan
Foto: Suasana sepinya Malioboro jelang lebaran, Kamis (21/5/2020). (Pradito Rida Pertana/detikcom)

RIAUDETIL.COM – Para wisatawan belum dianggap sah mengunjungi Yogyakarta apabila belum mengunjungi kawasan Malioboro. Apalagi, menyusuri kawasan yang sangat terkenal di Yogyakarta ini dapat menjadi kenangan tersendiri bagi para wisatawan.

Salah satu spot favorit di kawasan tersebut adalah papan penunjuk jalan ‘Malioboro’ yang berada di sebelah selatan Stasiun Tugu Yogyakarta. Di tempat tersebut, banyak wisatawan yang rela mengantre untuk mengabadikan momen dengan background papan tersebut.

Namun, pantauan detikcom, Kamis (21/5/2020) siang ini, di tengah wabah virus Corona atau COVID-19 Malioboro sepi. Tak ada atrean wisatawan yang ingin berfoto di papan Jalan Malioboro. Para pedagang kaki lima yang menjadi salah satu daya tarik Malioboro juga tidak menggelar lapaknya. Tampak hanya beberapa toko saja yang buka di kawasan tersebut.

Jalan Malioboro tak pernah sepi, selalu macet terutama saat menjelang dan selama libur lebaran. Andhong dan becak yang biasanya ramai dan memadati Jalan Malioboro, kini tak terlihat.

Mengutip dari website resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, pariwisata.jogjakota.go.id dalam bahasa Sansekerta sendiri kata ‘Malioboro’ bermakna karangan bunga. Itu mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika Keraton mengadakan acara besar maka jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga.

Kata Malioboro juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama ‘Marlborough’ yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M. Di mana pendirian jalan Malioboro bertepatan dengan pendirian Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Keberadaan Jalan Malioboro juga tidak terlepas dari konsep kota Yogyakarta yang ditata membujur dengan arah Utara-Selatan, dengan jalan-jalan yang mengarah ke penjuru mata angin serta berpotongan tegak lurus. Pola itu diperkuat dengan adanya ‘poros imajiner’ yang membentang dari arah utara menuju ke selatan, dengan Keraton sebagai titik tengahnya.

Poros tersebut diwujudkan dalam bentuk bangunan yakni, Tugu Pal Putih di utara, ke selatan berupa Jalan Margo Utomo atau Jalan Mangkubumi dan Margamulya (Malioboro), Keraton Yogyakarta, Jalan. DI. Panjaitan dan berakhir di panggung Krapyak.

Jika titik awal (Tugu) diteruskan ke Utara maka akan sampai ke Gunung Merapi. Sedangkan jika titik akhir (Panggung Krapyak) diteruskan sampai Selatan akan sampai ke Samudera Hindia.

Merujuk sejarah, di era kolonial (1790-1945) pola perkotaan itu terganggu oleh Belanda yang membangun benteng Vredeburg (1790) di ujung selatan jalan Malioboro. Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Societeit Der Vereneging Djogdjakarta (1822), The Dutch Governor’s Residence (1830), Javasche Bank dan kantor Pos untuk mempertahankan dominasi mereka di Yogyakarta.Sementara itu, jalan Malioboro memiliki peranan penting di era kemerdekaan (pasca-1945), sebagai orang-orang Indonesia berjuang untuk membela kemerdekaan mereka dalam pertempuran yang terjadi utara-selatan sepanjang jalan.

Komunitas Belanda di Yogyakarta berkembang pesat sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921). Hal tersebut berkaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya perkebunan tebu, berbagai jenis pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan, dan pendidikan.

Suasana sepinya Malioboro jelang lebaran, Kamis (21/5/2020).
Suasana sepinya Malioboro jelang lebaran, Kamis (21/5/2020). Foto: Suasana sepinya Malioboro jelang lebaran, Kamis (21/5/2020). (Pradito Rida Pertana/detikcom)

Perkembangan pesat juga terjadi pada masa itu yang disebabkan oleh perdagangan antara orang Belanda dengan orang Tionghoa. Penyebab lain yakni adanya pembagian tanah di sub-segmen Jalan Malioboro oleh Sultan kepada masyarakat Tionghoa dan kemudian dikenal sebagai Distrik Cina (Kawasan Pecinan).

Perkembangan pada masa itu didominasi oleh Belanda dalam membangun fasilitas untuk meningkatkan perekonomian dan kekuatan mereka, seperti pembangunan Stasiun Tugu oleh Staat Spoorweg (1887) di Jalan Malioboro, yang secara fisik berhasil membagi jalan menjadi dua bagian.

Untuk detikers yang tak bisa mudik ke Yogya tahun ini, jangan sedih. Yuk, gabung di acara Pulang Kampung Digital bareng detikcom.

Pulang Kampung Digital ke Yogyakarta akan berlangsung pada Kamis, (21/5/2020) pukul 20.00 WIB. Sejumlah tokoh Yogyakarta akan menyambut dan menemani perjalanan pulang kampung para sedulur.

Para tokoh tersebut terdiri dari GKR Hayu, Didik Nini Thowok, Gus Miftah, Gundhissos, Kelik Pelipur Lara, Putri Ariani, Anang Batas, Ki Seno Nugroho, Marzuki ‘Kill the DJ’, dan Pongki Barata. Acara ini akan dipandu oleh MC kocak Yogya, Alit Jabang Bayi.

Sedulur bisa berinteraksi dengan para tokoh di atas melalui live streaming. Biar lebih afdol, sudah ada oleh-oleh khas Yogyakarta yang sudah disiapkan, mulai dari wedang uwuh, geplak salak, bakpia, gatot kering, sampai kain lurik.

Untuk ikut dalam Pulang Kampung Digital, Sedulur harus memiliki tiket yang akan dipakai untuk membeli oleh-oleh di atas. Tiket bisa dibeli melalui detikevent dengan memilih tujuan pulang kampung, serta jenis tiket yang diinginkan.*(detik.com)

  • Bagikan