Pemerintah Kecamatan Rambah Rokan Hulu Dinilai Tak Mampu Kelola Pasar Senin Pasir pengaraian

  • Bagikan

Hari ini ada dua hal yang menarik perhatianku. Pagi sebelum aku berangkat kerja sebagai kuli tinta yang setiap harinya kulakukan tanpa pamrih.

Saya pergi Ke pasar senin KM 3 pasir pengaraian yang juga merupakan pasar tradisional yang berada di pusat ibu kota kabupaten Rokan Hulu, Riau.

Saya memperhatikan para pedagang yang menjajakan dagangannya, pedagang apapun itu. Karena apa? Walaupun hanya bisa memperhatikan dari luar tanpa melihat ke dalam kejamnya kehidupan yang sebenarnya sedang mereka hadapi. Hanya bisa memperhatikan dan membaca luarnya saja.

Namun melihat mereka yang penuh dengan semangat menjual dagangan mereka, ada yang berteriak sana sini, ada yang hanya diam pasrah melihat dagangannya yang tidak laku, ada yang bingung karena terlalu banyaknya pembeli yang menghampiri.

Yaah…mereka para pedagang yang berjualan di lokasi pasar Senin Pasir Pengaraian mereka yang harus bangun pagi buta atau bahkan tengah malam mempersiapkan lapak sebelum pagi datang dan para ibu-ibu mengerumuni dagangan mereka.

Entah kenapa, saya lebih suka memperhatikan pasar tradisional pasar seni ini, mereka yang harus selalu terlihat ramah di depan pembeli sekalipun terkadang ada yang berjualan dengan emosi yang meluap. Aku rasa dimanapun itu yang namanya pembeli lebih suka membeli di tempat yang penjualnya ramah.

Namun apa mau saya katakan melihat pasar tradisional ini, bak melihat hutan belantara yang penuh sampah dan kotoran hewan, yang mengundang penyakit bagi para pedagang dan pengunjung.

Sementara pasar tradisional pasar senin ini adalah satu-satunya pasar tradisional yang dikunjungi masyarakat setempat kecamatan rambah setiap Senin nya.

Salah seorang pengunjung pasar senin ini sempat saya wawancarai, menurut ibuk apakah pasar ini layak dan patut disebut sebagai salah satu pasar tradisional….? Dengan lantang sang ibuk yang ingin berbelanja tersebut mengatakan, “pasa Iko pak indak pasa namonyo ko do, iko pasa kambing ko, kalau pasa awak indak lahang Iko do,” seperti dikutip jawaban sang pengunjung.

Ditempat yang sama salah seorang pedagang sempat saya tanya (Hamonangan) menurut abang bagaimana pasar senin ini..? Hamonangan langsung jawab, “kami pedagang ini pak dikutip terus retribusi pasar, tapi entah apa gunanya dan kemana uang itu wallohul ‘a’lam” katanya, kepada awak media Senin (23/4/2018).

Dia juga menambahkan sangat kita sayangkan pak pasar ini sudah dibangun lewat dana APBD sejak masa jabatan Bapak mantan bupati Ramlan Zas dulu dan sudah menelan biaya milyaran tapi semua sekarang bak kandang kambing saja, terang pedagang ini.

Karena tambahnya lagi, di samping pasar tidak terurus, pasar ini juga bak tempat pembuangan sampah, dimana-mana sampah berserakan sementara kita dikutip terus uang kebersihan.

Camat rambah beberapa bulan yang lalu saat pertama menjabat sebagai camat rambah, pernah kami pertanyakan tentang status pasar senin pasir pengaraian ini, beliau mengatakan bahwa memang statusnya sudah diserahkan pengelolaannya kepihak kecamatan, namun kenapa sudah hampir setahun tidak ada sedikitpun perubahan dan bahkan semakin parah dan tidak terurus sama sekali.

Salah seorang pedagang yakni rumah makan Idris juga mengatakan, “bahwa pasar ini sama dengan pasar hantu dan mengundang penyakit,” cetusnya,

Dia juga menyampaikan kiranya pemerintah kabupaten Rokan hulu Riau dalam hal ini Dinas Perdagangan dan perindustrian kabupaten Rokan Hulu supaya ambil alih penangan pasar senin ini, karena tambahnya kami orang kampung sekali seminggu cuman kepasar, tapi kami masyarakat tidak nyaman dikarenakan bau sampah yang berserakan dimana-mana, dia juga menilai pemerintah kecamatan tidak mampu mengelola pasar ini.

Pemandangan yang sangat menarik bagi saya, saat berjalan di seputaran pasar senin, Sayur, ikan, ayam dan masih banyak lagi yang siap dijual oleh mereka dengan bau yang menjadi campur aduk di situ. Namun apa mau dikata Itulah media atau objek mereka dalam mencari rezeki.

Selain para pedagang sayur itu. Ada seorang bapak tua yang lusuh dan kesehariannya harus berkutat dengan busuknya sampah-sampah itu. Seperti tak ada perasaan jijik sedikitpun. Dengan begitu mudahnya dia menahan busuknya bau-bau sampah itu. Yang bahkan saya sendiri tidak tahan dengan baunya, Walaupun hanya melewatinya beberapa detik. Sedangkan dia bapak tua itu seharian disitu.

Kejamnya kehidupan yang membuat dia harus berkutat dengan sampah itu berjam-jam. Baunya saja sudah begitu yang bisa jadi membuat orang enggan berbelanja,

Ya…Tuhan, melihat itu semua seakan membuat saya sangat malu jika dibandingkan dengan megahnya bangunan perkantoran dan banyaknya mobil plat merah yang mondar mandir di negri seribu suluk ini,

Bapak tua itu, yang apa adanya dan mungkin bisa dikatakan jangankan membeli baju, untuk makan sehari-hari saja dia susah. Tidak peduli sekumal apa dan sebau apa aroma sampah yang membuat tubuhnya ikut bau karena sampah-sampah itu, dia tidak merasa malu untuk itu semua yang bahkan dia juga tidak pernah lupa untuk menyapa awak media yang sedang meliput.

Pasar ataupun tumpukan sampah tak ubahnya seperti kantor bagi mereka. Tak ada bedanya sebenarnya dengan mereka yang duduk depan komputer di ruang ber-AC karena tetap tujuannya satu mencari rezeki. Yang berbeda hanya nasib dan takaran rezeki yang didapat.

Akankah ini akan dibiarkan terus ataukah akan ada perubahan wallohul “a’lam bissowab…

Penulis: R. Lubis

  • Bagikan