Bisnis Properti Masih Lesu, Faktor Daya Beli?

  • Bagikan

RIAUDETIL.COM – Sekjen DPP Real Estate Indonesia (REI) Amran Nukman mengungkapkan bahwa pertumbuhan industri properti terus mengalami penurunan sejak 2013. Bahkan pelaku bisnis properti kesulitan menjual produknya.

Dia menjelaskan berbagai cara dilakukan untuk menarik minat calon konsumen, mulai dari memancing dengan durian gratis hingga hiburan dari artis kondang. Sayangnya itu tidak memberi efek positif.

“Dulu orang kalau kita launching, ramai-ramai sudah mulai menyatakan minat. Sekarang di kantor pemasaran itu sudah kita undang pakai durian gratis, pakai makan siang gratis, ajak artis yang sedang kondang, boro-boro mau pesan rumah, datang saja nggak,” kata dia dalam acara Properti Outlook 2020 di Sapo Del Tower, Jakarta, Kamis (6/2/2020).

Dia menjelaskan, dulu cukup mudah menjual produk properti. Sementara sekarang, menjual satu unit saja susah. Hal itu menurutnya dialami oleh rata-rata anggota REI. Tapi yang paling merasakan kondisi tersebut adalah penjual properti di harga Rp 1 miliar ke atas.

“Kalau kita ngobrol di organisasi dengan 5 ribu anggota kurang lebih nasibnya sama, terutama yang jualannya di harga Rp 1 miliar ke atas. Dulu sebulan lumayan lah berapa unit (terjual), sekarang bisa sebulan nggak jualan,” terangnya.

Terlepas dari itu, pihaknya masih menaruh optimisme bahwa tahun ini properti masih bisa tumbuh.

“Jadi pengembang melihat 2020 optimis walaupun tidak PD-PD (percaya diri) banget pertumbuhannya, tidak seperti yang lalu bisa 2 digit. Mungkin ya mendekati 8-9% prediksi kita pertumbuhannya (2020). Itu sudah cukup menggembirakan,” tambahnya.

Penyebab lesunya bisnis properti di halaman selanjutnya.

Amran Nukman mengungkapkan bahwa daya beli masyarakat saat ini masih rendah dan menyebabkan industri properti tidak mampu tumbuh tinggi.

Rendahnya daya beli masyarakat membuat penjualan properti lesu. Pasalnya uang masyarakat habis untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat, sedangkan peningkatan penghasilan tak seberapa.

“Ya jadi kendala terbesar yang kita pahami bersama daya beli. Orang itu penghasilannya naiknya, kalau pun naik kan nggak besar. Sementara kenaikan harga-harga dan biaya-biaya tumbuhnya melejit jauh,” kata dia di Sapo Del Tower, Jakarta, Kamis (6/2/2020).

Berdasarkan hasil diskusi antar pengembang yang tergabung di REI, dia menjelaskan uang bulanan masyarakat habis untuk biaya tempat tinggal, konsumsi untuk hidup sehari-hari, belum lagi kalau ada biaya pendidikan.

“Nah itu saja sudah menelan hampir seluruh penghasilannya,” sebutnya.

Sedangkan dulu, dia menyatakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat hanya menghabiskan 2/3 dari penghasilannya dan masih sisa 1/3 untuk mencicil rumah.

“Sementara kalau sekarang (ada) cicilan motor, kalau nyicil mobil, nyicil handphone, itu kan menghabiskan juga penghasilan bulanan. Jadi ujung-ujungnya kalau dalam bahasa sederhana itu menurunnya daya beli,” tambahnya.

Lalu pengembang harus berbuat apa? Penjelasannya di halaman selanjutnya.

Bisnis properti hingga kini masih lesu. Padahal banyak milenial yang belum punya rumah. Mereka merupakan calon konsumen potensial yang bisa mendorong pertumbuhan penjualan properti.

Namun, menurut Country Manager Rumah123.com Maria Herawati Manik, untuk menikmati ceruk dari pasar milenial, pengembang harus pintar-pintar dalam menarik minat mereka.

“Menurut saya milenial itu sekarang kalau kita tahu, industri yang sedang mereka giat-giatnya laksanakan berhubungan dengan ekonomi kreatif. Secara income growth sebenarnya milenial apalagi yang punya bisnis berhubungan dengan ekonomi kreatif, income growth mereka bahkan lebih baik dari income growth average nasional,” kata dia dalam acara Properti Outlook 2020 di Sapo Del Tower, Jakarta, Kamis (6/2/2020).

Dia meyakini bahwa pasar milenial terbilang besar jika saja peluang tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik.

“Tantangannya adalah meyakinkan mereka, karena milenial ini punya banyak sekali kebutuhan karena gaya hidupnya sangat experiential ya. Oleh karena itu, di sini peran dari developer atau bahkan dari agen dan marketing untuk bisa menjawab keinginan mereka itu apa sih, apa yang mereka butuhkan,” jelasnya.

Menurut dia, saat ini milenial lebih tertarik dengan rumah yang simpel selama desainnya sesuai minat mereka dan bisa memenuhi kebutuhan mereka di rumah. Hal lainnya yang dianggap penting adalah rumah tersebut bisa sekaligus digunakan untuk tempat kerja.

“Banyak milenial yang tertarik, gimana sih rumah ini juga bisa dipakai untuk tempat usaha,” sebutnya.

Untuk memberikan informasi ke milenial supaya tertarik memiliki rumah pun tidak cukup dengan cara-cara lama.

“Sekali lagi, informasi itu harus setransparan mungkin, informasi itu harus semenarik mungkin, sekali lagi tidak bisa berupa teks tapi juga video. Sekarang sudah menjadi salah satu tren ya. Oleh karena itu, videonya video seperti apa? nah itu kan harus dilakukan inovasi terus menerus. Saya rasa itu yang harus dilakukan untuk capturing milenial market,” tambahnya.***(detik.com)

  • Bagikan